Sektoralisme, Pemasalahan
Kebijakan Lingkungan dan
Sumber Daya Alam
Sumber Daya Alam
Sektoralisme dalam pengelolaan
sumber daya alam telah berjalan selama puluhan tahun, dimulai dengan dibukanya
keran penanaman modal asing di masa Orde Baru. UU No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, yang ternyata keluar lebih dahulu daripada UU No.6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, segera disusul oleh UU No.11 Tahun
1967 tentang Pertambangan. Kebijakan ini melancarkan datangnya PT. Freeport ke
Indonesia, yang kemudian terus menerus diperpanjang kontraknya sejak 1967
hingga 2041. Selama itu pula, hingga kini tidak ada suatu kesatuan
pandangan tentang pengelolaan sumber daya alam. Bahkan sebuah kebijakan
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam (Ketetapan MPR No.IX Tahun
2001) yang belakangan lahir atas kesadaran adanya ketidaksinkronan berbagai
kebijakan sektoral dan ketimpangan dalam pengelolaannya menjadi mandul karena
tidak pernah dijalankan oleh pemerintah dan DPR.
Faktanya kini, 10 tahun sejak Tap
MPR tersebut lahir, kebijakan agraria dan sumber daya alam yang ada tetap
bersifat sektoral dan kadang saling bertentangan. Ketiadaan aturan yang general
tentang sumber daya alam pun menyulitkan dalam UU lainnya misalnya saja, UU
No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan sebuah PP tentang
“penatagunaan sumber daya alam lainnya” padahal pengertian “sumber daya alam
lainnya” tersebut tidak pernah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ada UU lain
yang dapat dijadikan pedoman.
Sektoralisme dalam kebijakan
pengelolaan sumber daya alam menimbulkan berbagai inkonsistensi. Untuk
permasalahan istilah saja bagaimana negara menempatkan diri terhadap sumber
daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan. Ada yang menggunakan kata
penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum ada konsep yang baku dan
dapat dipedomani mengenai “hak menguasai negara” terhadap bumi, air dan
kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal 33 UUD 1945.
Dari segi visi misi kebijakan,
Maria S. Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut terhadap berbagai
kebijakan terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam:
Kebijakan
|
Visi Misi
|
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
|
konservasi sumber daya alam,
bersifat pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan
kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
|
UU 11/1967 tentang
Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan
|
Eksploitasi bahan tambang dan
pro-kapital.
|
UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
|
Konservasi dan pro-rakyat
|
UU 41/1999 tentang Kehutanan
|
Perimbangan eksploitasi dan
konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada
pro-rakyat
|
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi
|
Eksploitasi dan pro-kapital
|
UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air
|
Konservasi dan eksploitasi,
fungsi sosial, dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan
ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi,
dan manajemen usaha yang ahli.
|
UU 31/2004 tentang Perikanan
|
Eksploitasi, pro-kapital meskipun
ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil.
|
UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang
|
Konservasi dan pro-rakyat
|
UU 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (PWP3K)
|
Konservasi, dan eksploitasi,
pro-rakyat, tetapi juga pro-kapital.
|
UU 18/2008 tentang Pengelolaan
Sampah
|
Konservasi, pro-rakyat sekaligus
tetap membuka peluang pada kapital besar.
|
Selain itu kebijakan otonomi daerah
dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang kesemrawutan pada
kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan daerah, antar daerah
dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat
lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan dengan kebijakan
pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar pemilihan kepala
daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan sejumlah dugaan
korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang dilaporkan pada
tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk pertambangan di
Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur; serta
kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten Kepulauan
Meranti.
Dukungan pemerintah terhadap
keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan dalam dirumuskannya
pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”. Hal ini
tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta
baru-baru ini yaitu UU Perumahan dan Permukiman yang mengkriminalisasi orang-orang
yang dianggap menghalangi relokasi (baca: penggusuran).
Hal ini kemudian berdampak pada
banyaknya kasus masyarakat yang dikriminalisasi saat berhadapan dengan
korporasi dalam mempertahankan ruang hidup dan lingkungannya. Kriminalisasi ini
seringkali justru memperuncing konflik agraria antara masyarakat dengan
perusahaan yang mungkin telah terjadi bertahun-tahun. Begitu
banyaknya warga masyarakat yang dikriminalisasi, bahkan mengalami kekerasan
hingga tewas karena dianggap menghalang-halangi kegiatan pengusaha, baik dalam
usaha perkebunan maupun pertambangan. Sementara pengusaha yang dilaporkan oleh
warga masyarakat karena perampasan lahan dan wilayah adat tidak ditindaklanjuti
oleh aparat penegak hukum. Meskipun ada kasus misalnya penetapan pengusaha
sawit Murad Husein sebagai tersangka perampasan lahan di Banggai pada Maret
2010, hingga kini yang bersangkutan masih bebas dan kasusnya belum
ditindaklanjuti. Sementara 17 warga dan aktivis saat ini mendekam di tahanan
karena berdemonstrasi dan dituduh merusak fasilitas kantor perusahaan milik
Murad Husein.
Di lain pihak, penegakan hukum
untuk tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi masih
sangat lemah. Untuk pencemaran saja, Walhi mencatat ada 75 kasus sepanjang
2010, sementara pengaduan yang masuk ke Kementrian Lingkungan Hidup mencapai
200 kasus. Akan tetapi Mabes Polri dalam setengah tahun pertama 2010 hanya
menangani 13 kasus tindak pidana lingkungan dengan 6 tersangka, sementara di
tahun 2009 total hanya 17 kasus dengan 10 tersangka. Karena nya masih banyak
kasus yang belum tersentuh hukum. Sementara di tingkatan pengadilan,
Kementrian Lingkungan Hidup mencatat hanya 20 kasus dengan 5 kasus divonis
penjara, 1 kasus divonis pidana percobaan, sementara terpidana dalam 14 kasus lainnya
dinyatakan bebas murni.
Doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict
liability) yang telah diakui dalam UU No.23 Tahun 1997 yang kemudian
diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungangan dan pengelolaan
lingkungan hidup, ternyata tidak serta merta dapat memberikan kompensasi kepada
masyarakat yang terdampak. Contoh yang paling fenomenal adalah kasus lumpur
lapindo, dimana perusahaan berkelit dengan argumentasi keterkaitan antara
semburan lumpur dengan bencana gempa di Yogyakarta. Meskipun ada sejumlah ahli
yang membantah argument tersebut, proses hukum baik pidana maupun perdata
(diajukan oleh Walhi dan YLBHI secara terpisah) tetap tidak dapat membuat PT.
Lapindo Brantas bertanggungjawab. Bahkan hingga kini, negara yang harus
menanggung akibatnya dan telah lebih dari Rp.4 trilyun dana APBN dikucurkan
hingga kini.
Untuk kejahatan kehutanan seperti
pembalakan dan penyelundupan hidupan liar yang mendapat perhatian dan dukungan
pembiayaan yang signifikan dari luar negeri, berbagai upaya dukungan dilakukan
bahkan RUU Pembalakan Liar menganggap bahwa kejahatan ini sama seriusnya dengan
terorisme, karenanya penegakannya dapat menyimpang dari ketentuan KUHAP. Padahal,
lagi-lagi yang akan dikriminalisasi dengan UU ini nantinya adalah masyarakat
perambah yang hidupnya tergantung dari hutan, sementara perusahaan pembalakan
kayu skala besar yang jauh lebih merusak dapat melenggang bebas selama
mengantongi izin dari pemerintah.
Di sisi lain, penyidikan untuk
tindak pidana impor limbah B3 dalam UU PPLH yang sebagaimana bunyinya pasti
melibatkan dua negara, ternyata tidak dianggap sebagai kejahatan transnasional.
Polairud Mabes Polri mengakui bahwa mereka tidak dapat menjangkau pengimpor
limbah di luar negeri karena keterbatasan dana, sehingga selama ini yang dari
sekian banyak kasus yang ditangani keseluruhannya hanya penerima (perusahaan di
Indonesia) yang dijadikan tersangka dan hampir semuanya bebas. Lebih lanjut,
peraturan pelaksana UU PPLH tentang pengelolaan limbah B3 hingga kini juga
tidak kunjung disahkan, sehingga mempersulit penegakan hukumnya.
UU PPLH menyatakan bahwa semua
peraturan pelaksana UU tersebut akan selesai dalam waktu setahun (Oktober 2010
yang lalu). Belum disahkannya satupun peraturan pelaksana tersebut menunjukkan
ketidakseriusan KLH dalam mempersiapkan perangkat penegakan hukum lingkungan. Saat
ini memang sejumlah RPP sedang dibahas akan tetapi prosesnya kurang
partisipatif dimana pembahasannya cenderung tertutup untuk RPP tertentu. Adapula
kecurigaan bahwa ada proses ‘penghalusan’ ketentuan dalam UU PPLH yang selama
ini dianggap sangat keras, untuk dapat menjamin keberlangsungan dan dukungan
dunia usaha serta institusi pemerintah yang erat dengan eksploitasi sumber daya
alam seperti Kementrian ESDM, dapat terlihat misalnya dalam draf RPP
Perizinan Lingkungan yang telah dikonsultasikan ke publik.
Sementara itu, perlawanan terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi terus
berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Paling tidak sudah ada 2 (dua)
undang-undang yang dimenangkan oleh masyarakat sipil melalui gugatan yudisial
review yaitu UU PWP3K terkait pasal HP3 dan UU Perkebunan. Menyusul UU No.4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga kini telah menuai
setidaknya lima pengajuan uji materil dari berbagai pihak, salah satunya adalah
Walhi dengan sejumlah organisasi dan individu terkait penetapan wilayah
pertambangan yang tidak melibatkan persetujuan masyarakat dan kriminalisasi
terhadap penolakan pertambangan. Maraknya proses uji materil ini
menunjukkan bahwa banyak undang-undang yang memang bertentangan atau tidak
sejalan dengan konstitusi UUD 1945 sehingga seharusnya menjadi perhatian bagi
pembuat kebijakan, apalagi dengan target legislasi 2011 yang ambisius sejumlah
70 UU, padahal di tahun 2010 DPR hanya berhasil mengeluarkan tidak sampai 10
UU.
Kebijakan ‘payung” untuk
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam masih merupakan sesuatu
yang dicita-citakan untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidaksinkronan
kebijakan. Ini merupakan tantangan bagi gerakan lingkungan dan agraria untuk
terus menerus memperjuangkannya, ditengah ego sektoral dari berbagai kementrian
di pemerintah. Tentunya proses panjang ini harus dibarengi dengan kesiapan
komitmen, substansi dan sumber daya yang memadai.
Sementara itu, legislasi berbagai kebijakan sektoral yang masih berlangsung saat ini tetap tidak dapat diabaikan. RUU tentang Perubahan UU Migas, RUU tentang Perubahan UU Pangan, RUU Pemberantasan Pembalakan Liar dan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan adalah sebagian dari sekian banyaknya RUU prioritas Prolegnas 2011 yang penting untuk dipantau substansinya. Selain itu karena harapan penegakan hukum lingkungan banyak digantungkan pada UU PPLH, penting bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam pembahasan berbagai rancangan peraturan pelaksanaannya. Bagi pemerintah khususnya KLH, dibutuhkan percepatan pembahasan tanpa mengabaikan substansinya demi kepastian hukum dan penegakannya.
Pemulihan Indonesia
Pemulihan Indonesia adalah upaya
pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti Indonesia. Memperbaiki tata
kehidupan berbangsa Indonesia secara keseluruhan dengan mewujudkan keadilan
ekologis dengan cara populer dan semangat revolusioner. Hal ini dilakukan
dengan mempersatukan kesadaran pentingnya memulihkan krisis di setiap komunitas
kota dan desa. Membangkitkan kepercayaan diri bangsa untuk dapat keluar dari
krisis dengan kekuatan seluruh rakyat.
Keberhasilan gerakan memulihkan
Indonesia terletak pada persatuan semangat perjuangan rakyat Indonesia
terkhusus kaum tani, nelayan, buruh, kelompok perempuan, masyarakat adat,
miskin perkotaan. Dengan semangat ini, desakan pemulihan Indonesia menjadi
masif memaksa negara untuk berfikir, bertindak darurat dan mandiri dalam
memulihkan Indonesia. Memulihkan Indonesia harus melepaskan diri dari
berhutang. Karena utang makin membuat Indonesia tergantung, tidak mandiri dan
hilang percaya diri. Kepercayaan bangsa ini harus dibangkitkan dan disatukan.
Gerakan lingkungan adalah gerakan penyelamatan bumi, penyelamatan manusia dari
keserakan rezim Neoliberal.
Restorasi Ekologis
Kunci “Pemulihan Indonesia” adalah
restorasi ekologis. Restorasi Ekologis adalah tindakan sistematis untuk
memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial dan budaya kawasan dengan
menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang adil dan
lestari.
Program Restorasi Ekologis harus
didasarkan pada asas kerakyatan, keadilan antar dan intra generasi, kepastian
hukum, keberlanjutan, partisipasi, transparansi, akuntablitas, serta
penghormatan pada nilai hak asasi manusia. Di samping itu, memuat hal-hal yang
berkenaan dengan aspek-aspek demokratisasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam
pengaturan hak dan peran serta masyarakat yang hakiki dan terperinci dengan
menjabarkan prinsip: keadilan gender, akses atas informasi, perlindungan secara
utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai
masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA.
Restorasi Ekologis menentang pola
pembangunan dan pengurusan SDA yang bercorak eksploitatif, ekspansif,
berorientasi pasar, mengabaikan keselamatan dan peningkatan produktifitas
rakyat, serta keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Selain itu juga, Restorasi Ekologis
menempatkan keadaan kemiskinan dan penurunan kualitas LH dan SDA sebagai
tanggung jawab utama pemerintah sebagai pemangku amanat konstitusi negara demi
untuk memenuhi hak-hak dasar dan keadilan perlakuan bagi seseorang atau
sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar
yang diakui secara umum, meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya
alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH), rasa aman dan perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk itu, pelaksanaan agenda
Restorasi Ekologis harus dilaksanakan secara terintegrasi dalam seluruh sektor
dan wilayah. Prinsip-prinsip Restorasi Ekologis juga harus digunakan sebagai
prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan,
terutama dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah Indonesia (RPJP
dan RPJM).
Sasaran utama dari pelaksanaan
agenda Restorasi Ekologis adalah mengembalikan fungsi utama lingkungan hidup
dan PSDA sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat. Selain itu, dimaksudkan untuk
melindungi kekayaan alam yang tersisa dari tindakan produksi, konsumsi dan tata
kelola yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
Apa yang harus dipulihkan
Indonesia yang sekarang ini penuh
dengan carut marut pengelolaan memerlukan perubahan yang menyeluruh untuk dapat
membalikan krisis menjadi republik yang mampu mengayomi dan melakukan
manajerial atas sumber-sumber kehidupan guna keberlanjutan rakyat dan negara. Sektor-sektor
yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat seperti jaminan keselamatan atas
air, tanah, pesisir dan laut serta udara yang bersih harus menjadi skala
prioritas untuk diselamatkan.
Negara yang mandat pengelolaannya
diserahkan kepada pemerintah harus menunjukan niat baik dan melakukan
tindakan-tindakan yang mengutamakan keselamatan rakyat dengan melakukan
penyelamatan terhadap sumber-sumber kehidupan. Pemerintah mulai dari
struktur tertinggi sampai dengan lini terbawah harus mempunyai kesamaan pandang
berupa pengarusutamaan dan memberikan jaminan bagi rakyat dalam melakukan
tindakan dalam rangka pemebuhan kebutuhan serta membebaskan rakyat dari
ancaman-ancaman pengusuran basis-basis ekonomi rakyat mulai dari cara yang
paling visual berupa penggusuran secara langsung sampai dengan
tindakan penipuan dengan dalih kemakmuran seperti yang selama ini terjadi.
Regulasi yang selama ini terbukti
sukses menghancurkan tatanan sosial rakyat dengan memberikan ruang
hidup kepada korporasi dan melakukan penghambaan terhadap pemodal harus
dirubah kepada kebijakan yang memberikan jaminan keselamatan kepada rakyat
selaku pemilik negara. Pembangunan yang bersandar kepada hutang luar negeri
yang sarat dengan intervensi politik penguasaan sumber daya alam harus di
hapuskan dan mewajibakan kepada pemodal-pemodal yang selama ini melakukan
pengrusakan teradap sumber-sumber kehidupan rakyat untuk
bertanggungjawab dengan membayar hutang ekologis atas tindakan-tindakan yang
sudah dilaksanakan.
Rakyat harus mendapatkan informasi
utuh dari setiap konsep pembangunan. Informasi yang bermuara kepada penyesatan
dan membuat rakyat memberikan dukungan terhadap kepentingan segelintir kelompok
yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu.
Rakyat harus mendedikasikan dirinya sebagai organ utama dalam setiap
kepentingan bernegara. Undang-undang keterbukaan informasi harus di jalankan
secara konsisten dan sampai kepada tingkat basis di mana kantong-kantong massa
rakyat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan.
Untuk itu rakyat harus:
a. Membangun
massa kritis.
Massa kritis harus dibentuk dan
diciptakan. Kondisi rakyat yang selama ini dipermainkan oleh kelompok elite
politik, pemangku modal dan kelompok-kelompok yang bermental kleptokrasi. Harus
segera di akhiri. Massa kritis akan menjadi ujung tombak dari setiap perubahan
yang akan dilaksanakan dengan membangun ruang seluas-luas bagi rakyat dalam
membangun gerakan rakyat guna menyelamatkan sumbers-sumber kehidupan.
Pembentukan massa kritis harus
berdasarkan pendidikan kritis yang diajarkan kepada rakyat. Karena Pendidikan
kritis tidak bisa lepas dari gerakan pembebasan, bahkan pendidikan kritis bisa
disebut sebagai langkah lanjutan dari tahapan gerakan pembebasan. Kata
“pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki
kontek makna dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya. Sesuai dengan
konteks dan bentuk penindasan dan ketidak adilan di zamannya
Idealnya, pendidikan kritis rakyat
mampu meningkatkan daya kritis terhadap ancaman yang menimpa mereka, sekaligus
membangun solidaritas antar rakyat. Syarat utama adalah mempertimbangkan
kondisi obyektif dan subyektif rakyat terebut. Syarat lain yang diperlukan
meliputi:
1. Perlunya
beberapa contoh konkrit sebagai bahan pelatihan pada tingkat bawah, yakni
mengupas problem dan isu yang khusus.
2. Perlunya
merajut seluruh problem dan isu tersebut sehingga merentangkan seluruh
persoalan yang dihadapi komunitas.
3. Perlunya
komunikasi pada tingkat nasional untuk dapat memperkuat posisi tawar rakyat
terhadap pemerintah. Bangunan negara harus dipahami rakyat dalam memperjelas
ketimpangan hubungan antara negara dan rakyat.
b. Menjaga
sumber-sumber kehidupan di masing-masing wilayah dari ancaman kejahatan
korporasi.
Rakyat harus mengetahui secara
detail tentang apa saja potensi yang ada diwilayah mereka serta ancaman atas
kondisi wilayah yang mereka miliki. Pengetahuan yang utuh atas kondisi
lingkungan serta dampak yang terjadi serta potensi ancaman kerusakan lingkungan
jika potensi itu di ekploitasi akan membuat rakyat dengan kekuatan massa kritis
ini akan mempertahankan kawasan ekologi guna menjaga stabilitas lingkungan buat
mereka.
Untuk dapat menjaga sumber-sumber
kehidupan tersebut. Maka rakyat didorong untuk berorganisasi, bersyarekat agar
menjadi kesatuan yang kuat.
c. Membangun
perlawanan terhadap tindak kejahatan lingkungan
Perlawanan secara langsung di
lakukan dengan cara melakukan penolakan penggunaan terhadap hasil-hasil
produksi yang dihasilkan dari pengerukan sumber daya alam dengan mengorbankan
keselamatan lingkungan di Indonesia. Perlawanan ini dilakukan dengan cara:
1. Memboikot hasil
produksi - produksi dari perusahaan yang terbukti terlibat dalam mengorbankan
lingkungan dan hak-hak rakyat.
2. melakukan
tindakan pengawasan dari setiap regulasi yang akan dikeluarkan oleh negara
dalam rangka menjamin berlangsungnya proses ekstraksi destruksi sumber daya
3. melakukan
blokade terhadap semua aktivitas industri ekstraktif baik yang sedang
beraktivitas maupun baru mau akan beroperasi.
4. secara kontinyu
menyuarakan keselamatan lingkungan sebagai agenda yang harus diarusutamakan
dalam setiap moment dan diskursus yang ada.
Prinsip-prinsip Pemulihan
Prinsip-prinsip pemulihan
Indonesia, tidak terlepas dari prinsis-prinsip restorasi ekologis, yakni
didasarkan pada asas :
1. Pengelolaan
SDA dan LH dengan pendekatan bioregional
2. Kerakyatan
3. Keadilan
Antar dan Intra Generasi
4. Kepastian
Hukum
5. Keberlanjutan
6. Partisipasi
7. Transparansi
8. Akuntabilitas
9. Penghormatan
terhadap Nilai-nilai Hak Asasi Manusia
0 komentar:
Posting Komentar